Akhir-akhir ini bank syariah makin menjamur di Indonesia. Tidak hanya bank nasional, beberapa bank asing pun sudah mulai membuka cabang syariahnya di negeri ini. Di Satu sisi, hal ini tentu patut kita syukuri karena dengan begitu berarti sudah mulai muncul kesadaran di masyarakat kita yang notabene mayoritas muslim untuk bertransaksi atau bermuamalah dengan menerapkan aturan dan hukum-hukum Islam, dan hal ini tentu perlu mendapatkan dukungan dari kita semua. Namun di sisi lain, ada beberapa hal yang memang perlu dikritisi khususnya pada transaksionalnya untuk upaya perbaikan, agar bank-bank syariah yang ada saat ini dapat berkomitmen untuk benar-benar menjalankan aturan syariat seperti yang telah ditetapkan.
Saya sebagai mantan praktisi perbankan syariah (lebih dari
12 tahun berkarir dan akhirnya hijrah) mencoba untuk menyampaikan apa yang dikritisi
oleh para ulama terkait salah satu praktek yang banyak dilaksanakan oleh bank
syariah, yaitu transaksi Murabahah (Jual Beli) yang sampai saat ini prakteknya
belum memenuhi ketentuan syariat Islam. Dan contoh kasus yang saya ambil adalah
produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR) yang menjadi salah satu produk
primadona baik bagi nasabah maupun bagi pihak bank.
Sebelum kita masuk ke pembahasan praktek murabahah rumah
pada bank syariah, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apa itu istilah murabahah
dalam Islam. Yang dimaksud murabahah dalam istilah fiqih muamalah adalah
transaksi jual beli dimana pihak penjual memberitahukan harga barang pada si
pembeli dan ia mengambil keuntungan dari penjualan barang tersebut.
Transaksi
seperti ini kurang lebih dapat kita deskripsikan sebagai berikut :
Agus menjual mobil pada temannya yang bernama Dedi.
Dimana dalam jual beli ini Agus memberitahukan harga belinya pada Dedi yaitu misal
200 juta rupiah. Karena jasa Agus yang telah membeli terlebih dahulu dan ia
berani untuk menjualnya kepada Dedi secara cicilan, maka Agus menjual mobil
tersebut seharga 240 juta rupiah kepada Dedi untuk jangka waktu 2 tahun
misalnya. Maka dalam hal ini, Agus mendapat keuntungan sebesar 40 juta rupiah
dan Dedi mengetahui hal ini.
Mengenai hukum asal dari murabahah ini adalah dibolehkan.
Diantara dalil yang dapat dijadikan sandaran adalah keumuman firman Allah Ta’ala
dalam Al-Qur’an :
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“...padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. Al Baqarah : 275)
Sebagian ulama menafsirkan ‘jual beli’ pada ayat diatas
dengan tranaksi jual beli secara tidak tunai atau angsuran, yang di dalam
praktek perbankan syariah disebut murabahah. Walaupun sebenarnya istilah
murabahah dalam hukum fiqih itu tidak terkait dengan cara pembayarannya apakah
tunai atau non tunai. Sementara dalam istilah perbankan syariah, istilah
murabahah adalah jual beli dengan cara angsuran.
Kembali ke masalah hukum asal transaksi murabahah, di dalam
ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman
yang artinya :
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“....kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha
diantara kamu.” (QS. An-Nisa : 29)
Tidak dapat dipungkiri, bahwa transaksi murabahah adalah
termasuk transaksi yang terjadi dimana kedua pihak (penjual dan pembeli) saling
ridha. Sehingga secara umum, murabahah menjadi transaksi yang diperbolehkan
dalam hukum syariat.
Dalam fiqih muamalah, ada lagi jenis jual beli yang disebut
dengan istilah jual beli al aamir bisy
syira’ atau jual beli berdasarkan perintah untuk membelikan barang.
Mengenai bentuknya, ulama As-Syafi’iyah telah menjelaskan bentuk jual beli ini
:
Misal Si A melihat ada sebuah barang yang membuatnya
tertarik. Lalu si A berkata kepada si B
: “Tolong engkau beli barang ini dan engkau boleh mengambil keuntungan dariku
jika aku membelinya.” Atas dasar ini kemudian si B membeli barang tersebut dan
menjualnya ke di A dengan tambahan keuntungan. Jual beli semacam ini dibolehkan
dengan keuntungan yang disepakati.
Namun terdapat catatan penting dalam jual beli dengan bentuk
seperti ini, yaitu jual beli al aamir
bisy syira’ tidak boleh bersifat mengikat. Maksudnya jika si A menginginkan
untuk membelinya, maka jual beli terjadi. Namun jika setelah menimbang-nimbang
dan memperhatikan kualitas barang ternyata tidak sesuai keinginan dan si A
tidak ingin membelinya, maka ia berhak membatalkannya. Ini yang dimaksud dengan
hak khiyar dalam transaksi jual beli.
(bersambung..)
0 komentar:
Posting Komentar