Kamis, 29 Desember 2016


Bismillah, hukum transaksi jual beli dengan uang muka seringkali menjadi pertanyaan bagi kaum Muslimin mengenai kebolehannya menurut syariat Islam yang mulia. Untuk itu, pada pemaparan artikel kali ini penulis menyampaikan tiga buah fatwa dari Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa ( Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa) yang menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar hukum jual beli dengan uang muka. 

Mari kita simak :

Pertanyaan Pertama :

Apakah boleh bagi penjual mengambil uang muka dari pembeli. Dan ketika pembeli tidak jadi membeli barang yang dimaksud atau tidak kembali lagi, apalat menurut syariat penjual ini berhak menahan uang muka itu dan tidak mengembalikannya kepada pembeli?

Jawaban :

Jika kenyataan seperti yang Anda sebutkan, maka dibolehkan baginya menahan uang muka itu untuk dirinya sendiri dan tidak perlu mengembalikannya kepada pembeli. Demikian pendapat ulama yang paling benar, jika kedua pihak telah bersepakat untuk itu.

Wabillahit taufiq.

Fatwa ini ditandangani oleh ‘Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa) dengan Anggota : Bakr Abu Zaid,  ‘Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh, dan Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.

Pertanyaan Kedua :

Perlu saya beritahukan kepada Anda bahwa saya menekuni pekerjaan yang tak menentu, seperti pemborong bangunan rumah dan bengkel besi. Semua pekerjaan tersebut tidak lepas dari uang muka, sedikit maupun banyak. Ketika menyerahkan uang muka dan pengesahan transaksi pada satu, dua hari, atau lebih, orang yang sudah membayar itu menyimpang dari pendapatnya semula yaitu pada saat pekerjaan tengah berlangsung atau sebelum memulai pekerjaan. Lalu bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?

Jawaban :

Penjual yang mensyaratkan uang muka boleh mengambil uang muka itu jika transaksi jual beli dibatalkan. Demikian menurut pendapat ulama yang benar. Denga syarat, kedua belah pihak telah bersepakat untuk itu.

Wabillahit taufiq.

Fatwa ini ditandangani oleh ‘Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa) dengan Anggota : Bakr Abu Zaid,  ‘Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh, Shalih al Fauzan, dan Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.

Pertanyaan Ketiga :

Banyak penjual mengambil uang muka pada saat jual beli tidak terjadi. Apa hukumnya?

Jawaban :

Jual beli dengan uang muka itu boleh. Yaitu pembeli membeyarkan uang kepada penjual atau wakilnya, yang jumlahnya lebih sedikit dari harga yang harus dibayarkan setelah transaksi jual beli ditetapkan, untuk menjamin agar barang tidak dijual kepada orang lain. Jika pembeli itu mengambil barang tersebut maka uang muka itu sudah masuk dalam hitungan harga. Dan jika tidak mengambil barang itu, maka penjual boleh mengambil dan menjadikannya sebagai hak milik.

Jual beli dengan uang muka ini dibenarkan, baik diberi batasan waktu pembayaran sisa harga ataupun tidak. Hal ini berdasarkan apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Imam Ahmad pernah berbicara mengenai uang muka ini: “Tidak ada masalah dengannya.” Dan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dia membolehkan hal tersebut. Sa’id bin al-Musayyab dan Ibnu Sirin mengatakan: Tidak ada masalah dengannya.” Dia memakruhkan dikembalikannya barang dagangan yang disertai dengan sesuatu.

Adapun hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan uang muka (HR. Malik di dalam al-Muwaththa (II/609), Ahmad (II/183), Abu Dawud (III/768), Ibnu Majah (II/738), al-Baihaqi (V/342), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (VIII/135 nomor 2106), adalah hadits dha’if, sebagaimana menurut Imam Ahmad dan yang lainnya. Sehingga ia tidak dapat dijadikan hujjah.

Wabillahit taufiq.

Fatwa ini ditandangani oleh ‘Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa) dengan Anggota : Bakr Abu Zaid,  Shalih al Fauzan, Wakil Ketua : ‘Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh, dan Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.

Sumber :

Kitab Fatwa-Fatwa Jual Beli (Terjemahan), karya Ahmad bin Abdurrazaq ad-Duwaisy, cetakan tahun 2009 halaman 138-140.


Demikian tulisan kali ini , semoga bermanfaat..

Rabu, 21 Desember 2016


Bismillah, tulisan kali ini penulis men nyampaikan fatwa Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa (Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa) mengenai permasalahan pelunasan kredit sebelum waktunya :

Pertanyaan :

Ada seseorang yang berbisnis jual beli mobil. Dia menjual mobil dengan cara mengkreditkannya. Dia mengkreditkan mobil dengan cicilan bulanan seharga 50.000 riyal, dengan jumlah cicilan perbulan sebesar 1500 riyal.

Ada seorang pembeli yang datang dan berkata: “Saya akan melunasi semua sisa pembayaran saya, lalu berapa potongan yang akan Anda berikan kepada saya sebagai imbalan atas pelunasan sebelum waktunya.” Perlu diketahui wahai Syaikh, bahwa hal tersebut sudah tersebar pada mayoritas orang-orang yang biasa berbisnis mobil.

Kami sangat mengharapkan fatwa mengenai hal tersebut. Dan bagaimana pula hukumnya jika dia mengatakan: “Saya akan membayar semua yang menjadi kewajiban saya kepada Anda.” Kemudian si penjual menjawab: “Dan saya akan berikan potongan harga yang pernah disepakati sebesar 3000 riyal”, tanpa persyaratan dari pedagang atau permintaan untuk memotong harga sebagai imbalan dipercepatnya pelunasan pembayaran sebelum waktunya. Saya mengharapkan fatwa sekitar masalah di atas. Mudah-mudahan Allah menjaga Anda da meluruskan langkah Anda menuju kebaikan.

Jawaban :

Apa yang disampaikan pada pertanyaan di atas adalah apa yang dikenal oleh para ahli fiqih dengan istilah “potong dan percepatlah pembayaran.”

Mengenai kebolehannya masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dan yang benar adalah pendapat mereka yang membolehkan “pemotongan harga dan percepatan pembayaran.” Yang demikian itu berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad dan menjadi pilihan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.

Dengan nada membolehkan, Ibnul Qayyi rahimahullah mengatakan: “Karena praktek tersebut kebalikan dari riba. Riba mengandung penambahan pada salah satu pihak, sebagai ganti dari dilampauinya jangka waktu, sedangkan praktek ini mengandung keterlepasan tanggung jawabnya dari salah satu pihak sebagai imbalan dari berhentinya akhir jangka waktu.

Dengan demikian, sebagian kewajiban pembayaran gugur sebagai ganti gugurnya sebagian jangka waktu yang diberikan.  Dengan demikian, masing-masing pihak mendapatkan keuntungan. Dan dalam praktek tersebut tidak ada riba, baik dalam pengertian sebenarnya, bahasa, maupun tradisi. Sebab, riba berarti tambahan. Sedang praktek di atas sama sekali tidak mengandung pengertian itu.

Orang-orang yang mengharamkan hal tersebut mengqiyaskannya dengan riba. Padahal tampak jelas perbedaan antara ucapan: “Baik, kamu harus menambah atau kamu akan melunasinya.”, dengan ucapan: “Segerakan pembayaran kepada saya dan saya akan berikankepadamu seratus.” Itu jelas tidak ada kesamaan antara keduanya. Tidak ada nash, ijma’, maupun qiyas shahih yang mengharamkan hal tersebut.

Wabillahit taufiq.


‘Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa’
(Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa)
Anggota : Bakr Abu Zaid
Anggota : ‘Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz

Semoga bermanfaat..




Selasa, 20 Desember 2016


Bismillah, kali ini kami sampaikan uraian yang berisi fatwa ‘Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa (Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa) yang merupakan jawaban dari pertanyaan seorang penanya ketika menanyakan masalah hukum cicilan atau angsuran bulanan atas pembelian sebuah barang secara kredit :

Pertanyaan :

Apakah seorang Muslim boleh mengambil mobil dan perabotan rumah tangga serta lainnya dan membayar dengan apa yang disebut cicilan bulanan? Perlu diketahui bahwa jika dia membatasi nilai sesuatu dengan hitungan bahwa beberapa tahun kemudian, masanya ditambah dari tempo yang telah disepakati, maka nilainya pun akan bertambah pula. Dan saya mendengar banyak dari kaum Muslimin yang berhujjah bahwa Komite Fiqih di Kerajaan Arab Saudi membolehkan pengambilan mobil dan perabotan rumah tangga dengan sistem cicilan atau angsuran.

Apakah yang demikian itu benar? Tolong beritahu kami, semoga Allah memberikan balasan kepada Anda.

Jawaban :

Diperbolehkan membeli mobil, perabotan rumah tangga atau barang-barang lainnya dengan sistem kredit, yang harganya lebih mahal dari harga tunai. Harga itu dibayar dengan cicilan atau angsuran tertentu dan jangka waktu tertentu pula. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah secara tidak tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..” (QS. A-Baqarah : 282)

Demikian juga dengan firman-Nya :

“...Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” (QS. Al-Baqarah : 275)

Hal itu mencakup jual beli dengan tunai maupun kredit yang dibayar dengan cicilan atau angsuran maupun tidak dengan angsuran.

Wabillahit taufiq. Semoga Allah Ta'ala senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya, dan kepada para Sahabatnya.

‘Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa
(Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa)
Anggota : Bakr Abu Zaid
Anggota : Shalih al-Fauzan
 Wakil Ketua : ‘Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz


Catatan :

Penekanan fatwa diatas adalah mengenai bolehnya jual beli dengan cara kredit sekalipun harganya diatas harga tunai, baik dengan pembayaran sistem angsuran ataupun tanpa angsuran. Sepanjang transaksi jual beli yang dilakukan telah disepakati  di awal berapa harga dan jangka waktunya, dan juga transaksi jual belinya tidak mengandung unsur riba, wallahu a’lam.


Semoga bermanfaat..


Bismillah, tulisan ini adalah tulisan yang berisi fatwa ‘Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa (Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa) sebagai jawaban dari pertanyaan seorang penanya ketika menanyakan masalah memberi kesaksian pada transaksi riba :

Pertanyaan :

Paman saya pernah meminta saya untuk menjadi saksi bersamanya di salah satu bank atas suatu transaksi peminjaman uang. Dalam pinjaman ini terdapat bunga (riba). Perlu diketahui bahwa ayah dan paman saya ikut terlibat dalam uang ini, tetapi saya menolak memberikan kesaksian sehingga muncuk permasalahan. Lalu saya pun akhirnya mau memberi kesaksian meskipun pada dasarnya saya sama sekali tidak meridhai diri saya dan tidak juga ridha memberi kesaksian.

Saya sangat menyesal karenanya dan saya sangat sedih atas apa yang pernah saya lakukan itu. Sekarang saya dalam keadaan bingung menghadapi masalah ini. Oleh karena itu, mohon saya diberitahu tentang (hukum) hal ini.

Jawaban :

Diharamkan memberi kesaksian pada transaksi yang mengandung riba. Anda wajib bertaubat serta memohon ampunan dari apa yang pernah anda lakukan berupa pemberian kesaksian pada akad pinjam meminjam yang berbau riba.
Wabillahit taufiq. Mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para Sahabatnya.

‘Al-Lajnah ad-Daa-imah lil Buhuuts al-‘Ilmiyyah wal Iftaa
(Komite Tetap Kajian Ilmiah dan Pemberian Fatwa)
Anggota : ‘Abdullah bin Ghudayan
Wakil Ketua : ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Ketua : ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz


Semoga bermanfaat..

Minggu, 18 Desember 2016



Perumahan Islami di Bandung silahkan hubungi Iyan Rofianto 081312082987. Dapatkan perumahan islami berupa kavling siap bangun sesuai keinginan anda.

Perumahan Islami di Bandung

Kami dari Hasanah Land mempersembahkan kavling di perumahan syariah tanpa riba, tanpa melibatkan bank, tanpa sita, tanpa denda. Dapatkan seluruh fasilitas menarik di Kavling D'Village Sindanglaya. Kavling yang dikondisikan berada di dalam perumahan dengan konsep ramah lingkungan dan juga strategis di dalam kota Bandung. Mengapa kavling? Diantaranya karena kavling termasuk salah satu properti yang paling banyak diminati oleh masyarakat, baik untuk investasi maupun dipergunakan sendiri. Dengan memiliki sebuah kavling untuk investasi, maka anda tidak perlu repot-repot untuk merawatnya, anda tinggal mengeceknya sekali-kali jika diperlukan,  dan jika harga sudah naik, maka anda tinggal menjualnya. Kalaupun kavling itu anda akan gunakan sendiri, maka anda tinggal membangun saja rumah diatasnya dengan desain dan denah sesuai selera anda. Itulah diantara kelebih kavling dibanding rumah.

Dapatkan berbagai fasilitas menarik diantaranya :

- One Gate Sistem
- Rumah Tahfidz Qur'an
- Row lebar 6 meter
- Paving Block
- Play Ground

Berada di lingkungan perbukitan Sindanglaya, Anda akan merasakan:

- Lingkungan yang Sejuk
- Udara yang Segar
- Cluster yang Islami

Semua bisa membuat kita selalu merasa nyaman dan aman.

Anda juga bisa mendapatkan Juga Potensi Profit hingga ratusan Juta Rupiah!

Potensi Harga Setelah Jadi :
2,5jt /m2

Harga Promo Cash 12x
1,7 jt /m2


~Tidak Perlu bayar Cash keras~

Cukup bayar minimal 75jt, sisanya dapat Anda cicil selama 12 Bln

Anda penasaran detailnya? silahkan klik -----> Disini

Atau Kontak :

Iyan Rofianto
Telp/WA : 081312082987




Jumat, 16 Desember 2016



Bagi seorang Muslim, sudah sepatutnya jika kita mendambakan tinggal di sebuah lingkungan perumahan yang Islami. Lingkungan perumahan yang menghadirkan ketenangan dan kenyamanan untuk kita dan keluarga. Lingkungan perumahan yang ketika kita tinggal disitu, maka kehidupan keagamaan kita terus bertambah lebih baik dan lebih baik.

Sebaliknya, kita bisa membayangkan jika kita tinggal di sebuah kawasan perumahan yang penduduk atau warganya jauh dari kehidupan agama. Setiap hari tampak pemandangan anak-anak muda nongkrong di pinggir-pinggir jalan perumahan sambil merokok dan bermain musik, sambil terdengar percakapan-percakapan kasar diantara mereka. Dengan tetangga tidak saling akur, justru aroma persaingan dunia yang kental mewarnai susasana perumahan. Masalah kecil mudah sekali berubah menjadi besar karena masing-masing tidak saling mengalah. Masjid sehari-hari selalu sepi dari jamaah sholat lima waktu, apalagi pendidikan dan kajian-kajian ilmu. Sungguh suasana yang jauh dari menyejukkan.

Kondisi lingkungan tempat kita tinggal akan mempengaruhi kepribadian dan kebiasaan kita dan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, terlebih lagi bagi perkembangan anak-anak kita yang memang masanya meniru segala sesuatu yang dia dengar atau dia lihat sendiri. Sehingga pemilihan lingkungan menjadi sesuatu yang sangat penting kita perhatikan, agar kenyamanan dan ketentraman bisa kita dapatkan.

Kita bersyukur bahwa akhir2 ini sudah mulai bermunculan perumahan-perumahan syariah, yang bukan hanya menawarkan proses perolehan rumah yang bebas dari riba tetapi juga menawarkan konsep lingkungan tinggal yang Islami. Apalagi jika konsepnya benar-benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sangat membahagiakan.

Baru-baru ini penulis mendengar hadirnya sebuah perumahan sunnah di daerah Bandung Barat. Pengembang menawarkan pembelian rumah yang bebas riba, dan konsep lingkungan perumahan sesuai sunnah. Disana diatur kebijakan-kebijakan Islami diantaranya :

  1. Warga yang boleh memiliki rumah adalah warga muslim dari latar belakang yang berbeda-beda, yang tidak menyimpang dari Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma para ulama.
  2. Warga diwajibkan menutup aurat secara syar’i
  3. Suasana lingkungan dikondisikan bebas rokok, karena warga tidak boleh merokok di lingkungan perumahan
  4. Bagi warga laki-laki diwajibkan sholat berjamaah di masjid, kecuali yang memiliki udzur syar’i
  5. Rumah tidak diperbolehkan digunakan untuk berjualan, karena untuk berjualan pengembang telah menyediakan kios atau ruko di sekitar perumahan
  6. Aktifitas perniagaan wajib berhenti ketika adzan berkumandang
  7. Dan sejumlah aturan Islami lainnya.


Dapat kita bayangkan, alangkah indahnya jika kita bisa tinggal di tempat seperti itu. Suasana bertetangga yang ramah dan bersaudara, masjid yang dipenuhi jamaah ketika sholat lima waktu, berbagai kajian ilmu syar’i dihadirkan di masjid, dan berbagai keindahan suasana lainnya.

Semoga perumahan-perumahan seperti ini makin banyak ke depannya, sehingga dua kondisi (paling minimal) dapat tercipta; Masyarakat terhindari dari riba ketika membeli rumah, dan hadirnya lingkungan perumahan yang Islami untuk membentuk generasi muslim sesuai sunnah, aamiin..


Semoga bermanfaat..


Properti syariah lahir karena keprihatinan para pengusaha muslim terhadap maraknya transaksi riba dalam proses kepemilikan properti terutama rumah dan tanah di negeri ini. 

Dari mulai praktek riba terang-terangan seperti yang dilakukan oleh bank-bank konvensional misalnya, sampai pada transaksi pembiayaan pemilikan rumah pada bank-bank syariah yang sampai saat ini masih belum sepenuhnya terbebas dari transaksi ribawi.
Munculya ide properti syariah yang ingin mewujudkan masyarakat yang bebas dari kehidupan ribawi sungguh sangat membahagiakan dan perlu mendapatkan apresiasi serta dukungan dari kita semua sebagai kaum Muslimin. Betapa tidak, karena dosa riba yang sangat besar, yang mana dosanya ini tidak hanya akan berdampak bagi individu pelaku riba, akan tetapi juga berdampak pada tatanan masyarakat luas.

Mari kita perhatikan sabda Bagina Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berikut :

“Apabila riba dan zina telah merajalela dalam satu masyarakat, maka mereka telah menghalalkan adzab Allah atas diri  mereka.” 

[Hadits hasan; HR. Al-Hakim (II/37) dan ath-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabiiir (I/178, no. 460)]

Na’udzubillah.. betapa berat dosa riba hingga jika masyarakat tidak peduli dengannya sampai riba itu merajalela di tengah mereka, maka seolah-olah mereka hanya tinggal menunggu adzab Allah turun atas diri mereka, na’udzubillahi min dzalik.
Lalu, bagaimana mekanisme properti syariah ini berjalan? Detailnya tentu panjang, akan tetapi sederhananya, inti segalanya adalah akad. Akadlah yang menentukan sebuah transaksi itu secara hakiki berjalan. 

Properti syariah berjalan tanpa melibatkan bank, karena memang bank hakekatnya tidak melakukan jual beli real, mengingat regulasi Bank Indonesia sampai saat ini masih melarang bank terjun ke sektor real seperti transaksi jual beli misalnya. Jadi posisi bank hanyalah sebagai media yang menyalurkan pembiayaan, sekalipun itu bank syariah.

Pada properti syariah, jual beli terjadi antara konsumen sebagai pembeli dengan pihak developer sebagai penjual, baik itu secara cash, maupun sistem pesanan dengan menggunakan skim akad istishna, sehingga transaksi jual beli itu benar-benar terjadi. Inilah akar dari semuanya, akad yang sesuai dengan prakteknya.

Selain itu, properti ini meniadakan sejumlah kegiatan-kegiatan transaksi yang melanggar prinsip syariah seperti riba, denda, sita dan asuransi. Kegiatan-kegiatan yang membebani konsumen seperti proses BI Checking misalnya, semuanya ditiadakan. Yang terpenting adalah komitmen dan itikad baik dari calan pembeli properti sehingga semuanya bisa diperjanjikan dengan baik. Jadilah properti ini :

1. Tanpa Bank
2. Tanpa Riba
3. Tanpa Denda
4. Tanpa Sita
5. Tanpa Asuransi
6. Tanpa BI Checking
7. Tanpa Akad Bathil

Lalu bagaimana bisa properti syariah bisa berjalan dan berkembang tanpa 7 poin diatas? Jawaban atas pertanyaan itu insya Allah akan dikupas tuntas pada artikel-artikel selanjutnya, biar penasaran..

Semoga bermanfaat..

Salam Properti Non Ribawi

Iyan Rofianto

Rabu, 14 Desember 2016



Bismillah.. Seperti yang telah kita maklumi bersama, salah satu benda atau barang yang dari waktu ke waktu tidak pernah mengalami penurunan harga adalah tanah. Ya, sampai saat ini tanah masih menjadi salah satu primadona masyarakat dalam berinvestasi. Selain harganya yang terus naik dari waktu ke waktu, memiliki sebuah tanah juga tidak memerlukan perawatan yang sulit. Pemilik tanah hanya perlu mengeceknya sewaktu-waktu, atau paling sekedar membersihkan tanah dari tumbuhan yang tidak diinginkan, itupun kalau ada. Dan ketika harganya naik, sang pemilik tanah hanya tinggal menjualnya kembali dengan harga yang jauh diatas harga awal perolehan.

Kondisi diatas berlaku bagi mereka yang memiliki kelebihan harta dan menginginkan agar hartanya dapat berkembang. Adapun bagi kita yang keuangannya hanya cukup untuk membeli rumah tinggal untuk ditempati sendiri, tentu harus pandai-pandai mengatur keuangan agar kita dapat memiliki sebuah rumah diatas sebidang tanah yang kita inginkan. 

Pada umumnya, bagi seorang pegawai, membeli rumah secara cash adalah sesuatu yang tidak mudah. Harga rumah yang saat ini mencapai ratusan juta rupiah, sulit dijangkau oleh pegawai level menengah. Jika dia ingin memiliki rumah dengan cara membelinya secara cash, maka dia harus menabung untuk mengumpulkan dana agar suatu saat ketika uangnya cukup, maka dia bisa membelinya secara cash. Hal ini juga bukan sesuatu yang mudah, mengingat setiap tahun ada yang namanya inflasi atau penurunan nilai mata uang. Jadilah nilai mata uang yang turun dari waktu ke waktu, sementara harga tanah atau rumah terus meningkat dari waktu ke waktu. Jadilah kedua hal ini tidak bertemu.

Lalu bagaimana?

Salah satu yang banyak menjadi pilihan adalah sementara mengontrak sebuah rumah untuk tinggal, sebelum keuangan mencukupi untuk membelinya. Ini adalah pilihan yang bijak, dibanding megajukan kredit ribawi untuk memiliki sebuah rumah. Cepat sih iya, akan tetapi selamanya Allah Ta'ala tidak akan meridhai transaksi ribawi. Pilihan mengontrak rumah adalah sesuatu yang baik karena transaksinya halal. Semoga dengan memilih sesuatu yang halal untuk menghindari sesuatu yang diharamkan akan mendapatkan barokah dari Sang Pencipta sehingga bukan tidak mungkin suatu saat Allah Ta'ala memberikan rezeki-Nya hingga orang itu bisa memiliki sebuah rumah. Ini bukan hal yang mustahil  dan bahkan banyak juga terjadi, karena Allah Maha Luas rezeki-Nya, dan Maha Kaya.

Ada pilihan lain yang sangat menarik saat ini, yaitu memiliki rumah dengan properti syariah. Melalui properti syariah, kita bisa membeli rumah dengan cara cash ataupun mencicil, tentu tanpa bersinggungan dengan riba insya Allah. Selain itu, calon pembeli tidak akan di BI Checking terlebih dahulu, sehingga bagi calon pembeli yang sebelumnya pernah ditolak di bankpun bisa mengajukan pembelian rumah melalui properti syariah dengan pembayaran sistem angsuran. Menarik bukan?

Jika anda tertarik untuk mencobanya, anda dapat menghubungi kami :

Iyan Rofianto
Telp/WA : 081312082987

Salam hangat..

Senin, 12 Desember 2016

Tetangga Sebelum Rumah

Dalam hal menentukan tempat untuk tinggal,  ada sebuah pepatah Arab yang cukup menarik, yang berbunyi (artinya) : ”Tetangga Sebelum Rumah.” Maksud dari pepatah ini kurang lebih adalah hendaknya seseorang itu ketika hendak membeli rumah di sebuah tempat, maka dia harus melihat dulu kondisi tetangga di sekitar rumah itu. Jika kondisi tetangganya baik, maka rumah itu layak untuk dibeli, namun jika kondisi tetangga buruk, maka dia harus berpikir seribu kali sebelum memutuskan untuk membeli rumah tersebut.

Jika direnungkan, pepatah Arab diatas ada benarnya juga. Jika kita tinggal di sebuah lingkungan tetangga yang buruk, tentu akan sangat menyiksa kita. Tidak usah bicara lingkungan, memiliki satu saja tetangga yang tidak baik, sudah dipastikan akan mengganggu kenyamanan kita tinggal disitu. Bayangkan, tetangga samping rumah kita seorang yang jahat misalnya. Kita mau pergi meninggalkan rumah tidak tenang, khawatir terjadi sesuatu dengan rumah atau benda yang kita miliki. Berinteraksi dengannya juga tidak nyaman, karena perasaan pasti selalu was-was. Belum lagi bagaimana nanti jika anak-anak kita meniru kebiasaan-kebiasaannya yang buruk karena setiap hari mereka melihat tetangga itu melakukan kebiasaan yang buruk, baik perkataan maupun perbuatannya.

Pendeknya memiliki tetangga yang tidak baik adalah musibah bagi seorang muslim. Sementara memiliki tetangga dan ligkungan yang baik adalah anugerah yang tidak terhingga besarnya, bahkan tidak bisa dinilai dengan uang karena hakikatnya tetangga atau lingkungan yang baik itu tak ternilai harganya. Karenanya Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu menekankan agar seseorang itu hendaknya memuliakan tetangganya, tidak mengganggunya baik dengan ucapan maupun perbuatan. Sungguh tuntunan yang sangat mulia.

Satu hal yang perlu disyukuri, saat ini sudah mulai bermunculan perumahan-perumahan syariah di Indonesia. Perumahan yang dapat dimiliki dengan cara yang tidak bersinggungan dengan riba, dan dikondisikan juga perumahan itu berada dalam kondisi Islami. Beberapa perumahan malah menerapkan sejumlah aturan ketat untuk menjaga lingkungan perumahan tetap Islami.

Salah satu contohnya adalah sebuah perumahan sunnah di daerah Bandung, tepatnya di kawasan Batujajar Bandung Barat. Perumahan syariah ini dapat dimiliki tanpa riba, dan menerapkan sejumlah aturan yang ketat untuk kemaslahatan bersama. Misalnya, seluruh warga laki-laki diwajibkan untuk shalat berjamaah di Masjid ketika berada di rumah. Tidak boleh keluar dengan membuka aurat, tidak boleh merokok di sekitar lingkungan perumahan, menghentikan seluruh aktivitas jual beli ketika adzan berkumandang, dan masih banyak aturan lainnya yang sangat baik.

Selain itu, warga juga dapat mengikuti kajian-kajian ilmu di masjid perumahan, karena jadwal kajian sudah disiapkan dengan materi dan pengisi kajian yang berbobot. Dengan konsep ini, mereka menyebut perumahan ini sebagai “Kampung Ilmu” untuk menata iman para warganya, subhanallah. Semoga perumahan-perumahan semacam ini makin banyak kedepannya.

Kesimpulannya, berhati-hatilah bagi anda yang akan membeli rumah, jangan sampai kita tidak mementingkan kondisi tetangga atau lingkungan tempat kita tinggal. Pilihlah rumah dengan kondisi lingkungan yang baik dan Islami, agar ketenangan dan keselamatan bisa kita upayakan dengan lebih mudah. Karena kalau tidak, bisa-bisa kita tersiksa karena tinggal bertetangga dengan orang-orang yang buruk. Wallahu ‘alam.


Semoga bermanfaat..

Sabtu, 10 Desember 2016


Bismillah, ini adalah postingan mengenai model riba yang terjadi di zaman jahiliyah, dan bagi anda yang belulm membaca postingan ini pada bagian pertama, silahkan klik disini.

Imam al-Alusi rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh beberapa orang bahwa pada zaman dahulu jika seseorang meminjam uang secara riba untuk masa tertentu, maka pemilik uang akan berkata kepada yang berutang, ‘Tambahlah uangku, maka aku akan menangguhkan utangmu.’ Dan ketika orang yang berutang tersebut menerimanya, maka lama kelamaan seluruh harta orang tersebut akan habis disebabkan utang yang tidak seberapa itu.” (Ruuhul Ma’aani (III/66))

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa riba yang berlaku pada masa jahiliyah ada dua model, yaitu :

1. Tambahan yang disyariatkan dan disepakati pada saat memulai transaksi pinjam-meminjam.

2. Tambahan lain dari tambahan yang telah disepakati sebelumnya, atau tambahan secara berulang-ulang yang diakibatkan mundurnya pembayaran saat jatuh tempo dalam transaksi utang piutang.

Demikian kurang lebih  apa yang disampaikan oleh Al Ustadz mengenai riba yang terjadi pada masa jahiliyah. Kita dapat melihat bahwa faktanya, riba model ini masih juga terjadi di masa sekarang pada beberapa tempat di negara kita. Bagaimanapun, riba adalah sesuatu yang sangat mengerikan, dimana bahayanya berdampak bukan hanya pada diri pribadi, tetapi juga pada masyarakat, negara, dan bahkan dunia. Kita telah menyaksikan kehancuran akibat sistem ribawi ini terjadi. Wallahu a’lam.

Adapun selain itu, riba di zaman ini telah menjelma menjadi berbagai transaksi yang seringkali orang tidak menyadari bahwa itu adalah riba. Dengan semakin majunya peradaban, maka variasi transaksipun makin beragam. Transksi perbankan, saham dan berbagai instrumen semacamnya, valuta asing dengan berbagai model transaksi berbeda, jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa, dan masih banyak lagi yang lainnya yang jika seseorang berkecimpung di berbagai transaksi itu tanpa ilmu, maka hampir dapat dipastikan dia akan terjerumus pada transaksi ribawi. Hal ini jauh-jauh hari telah disampaikan oleh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia yaitu ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dinukil oleh Abu Layts, dalam kitabnya Tanbih Al Ghafilin halaman 364 :

“Barangsiapa yang melakukan perniagaan sebelum mempelajari fiqih (muamalat), maka dia akan terjerumus ke dalam riba, dia akan terjerumus ke dalam riba.”

Semoga Allah memberikan kepada kita petunjuk, dan kekuatan untuk bisa terus menuntut ilmu termasuk ilmu tentang fiqih muamalat sehingga dengannya kita bisa terhindar dari riba selama-lamanya, amiin.


Semoga bermanfaat..


Bismillah.. Tulisan kali menurunkan sebuah pembahasan dari sebuah buku karya Al Ustadz Yazid yang berjudul : “Ruh Seorang Mukmin Tergantung Pada Utangnya Hingga Dilunasi”, dengan sedikit tambahan dari penulis. Pembahasan adalah mengenai model riba yang terjadi di zaman jahiliyah;

Istilah utang atau pinjaman artinya menyerahkan sejumlah harta kepada orang yang memerlukannya karena adanya kasih sayang, kemudian harta tersebut dikembalikan pada pemiliknya dalam bentuk barang  yang serupa atau senilai harganya. Adapun yang dimaksud dengan riba adalah harta tambahan yang tidak mempunyai imbangan apapun dalam pandangan syariat yang tejadi pada transaksi tukar menukar. Maka pinjaman riba adalah pinjaman yang disyariatkan dalam transaksinya agar ketika harta tersebut dikembalikan ditambah dengan sejumlah harta tertentu.

Riba yang berlaku pada masa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan yang disebut riba dalam Al-Qur’an adalah riba dalam transaksi pinjam meminjam atau utang piutang. Itulah arti riba saat itu yang menjadi transaksi trend di tengah-tengah masyarakat.

Imam Al-Jashshash rahimahullah berkata, “Riba yang dikenal dan dilakukan oleh orang-orang Arab pada masa itu ialah pinjaman berupa uang dirham atau dinar untuk masa tertentu dengan adanya tambahan tertentu sebanding dengan jumlah pinjaman, sesuai dengan kesepakatan mereka. Inilah yang mereka kenal dan mereka lakukan saat itu.” Kemudian beliau melanjutkan, “Saat itu tidak ada riba, kecuali seperti apa yang kami sebutkan diatas, yaitu yang terkait dengan pinjaman berupa uang dirham ataupun dinar dengan masa tertentu dengan syarat tambahan tertentu.” (Ahkaamul Qur’an (I/465)


Sementara riba nasi’ah adalah jenis transaksi yang dikenal pada masa jahiliyah, yaitu jika seseorang meminjamkan sejumlah uang kepada orang lain, ia mensyaratkan agar orang yang meminjam uang tersebut agar memberikan sejumlah uang kepada pemilik uang tiap bulan, yang mana uang tambahan itu tidak mengurangi dari jumalh utang pokok, dan setelah jatuh tempo pemilik uang akan meminta urang pokoknya. Jika orang yang berutang belum bisa membayar utangnya, maka ia harus menambanh sejumlah uang tertentu sebanding dengan lama waktu keterlambatannya. Inilah model riba yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. (Lihat Tafsiir ath-Thabari (III/434), Tafsiir Ibni Katsir (II/117), dan Zaadul Masiir (hlm.223))

bersambung ke bagian 2, silahkan klik disini.

Kamis, 08 Desember 2016


Bismillah, tahukah anda bahwa pada dasarnya riba dilarang oleh hampir semua agama? Jika anda belum mengetahuinya, maka berikut ini kami sampaikan sebagiannya  sebagai bukti bahwa bukan hanya Islam yang melarang praktek riba :

A. Filsuf Yunani dan Romawi

  1. Pada masa Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga tidak diperbolehkan
  2. Plato (427 – 347 SM) mengecam praktek bunga karena menyebabkan perpecahan dan perasaan tak puas masyarakat, serta menjadi alat golongan kaya untuk dapat mengeksploitasi golongan miskin.
  3. Aristoteles (384 – 322 SM) keberatan dengan praktek bungan karena uang adalah alat tukar, dan bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga.
  4. Cicero (106 – 43 SM) memberi nasehat kepada anaknya agar menjauhi dua hal, yaitu memungut cukai dan memberi pinjaman dengan bunga.
  5. Cato (234 – 149 SM) memberi ilustrasi untuk membedakan bunga dengan perdagangan.

B. Yahudi

Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25:

Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorangumatKu, orang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia:janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya”

 Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19:

“Janganlah engkau membungakan  kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan”

Kitab Levicitus (Imamat) pasal 23 ayat 19:

“Janganlah emgkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya sudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uanmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba."

C. Kristen

Lukas 6:34-35 :

“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuat baiklah kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Maha Tinggi sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”

D. Kristen (cont’d)

Pandangan Pendeta Awal (Abad  I – XII) :

  1. St Basil (329 –379) : mereka yg memakan bunga dianggap tak berperikemanusiaan. Mengambil bunga = mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan
  2. St. Gregory dari Nyssa (335 – 395): larangan yg terdapat dlm Perjanjian Lama yg ditujukan bagi orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru
  3. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir)
  4. St. Augustine & St. Anselm dari Centerburry (1033 – 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.

Demikian kami sampaikan beberapa bukti bahwa pada dasarnya riba dilarang oleh hampir semua agama. Semoga menjadi tambahan wawasan bagi kita semua, dan semakin yakin dengan bahaya riba sampai-sampai para penganut agama lainpun tetap mempraktekkan riba itu padahal kitab suci dan para pemuka agama mereka telah melarangnya, wallahu a’lam.


Semoga bermanfaat..



Bismillah.. tulisan kali ini membahas tentang riba dalam Islam. Apa yang penulis sampaikan pada kesempatan ini adalah mengenai dua hal; definisi dari riba itu sendiri, dan sejarah riba. Sebagai catatan, tulisan ini banyak mengambil sumber dari sebuah buku bermanfaat karya Al Ustadz Erwandi Tarmizi, MA yang berjudul “Harta Haram Muamalat Kontemporer”. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga beliau.

Definisi Riba

Riba di dalam bahasa Arab artinya “bertambah”. Maka secara bahasa, segala sesuatu yang bertambah dinamakan riba. Sedangkan menurut istilah, riba berarti :
“Menambahkan beban kepada pihak yang berutang (biasa dikenal dengan istilah riba dayn)  atau menambahkan takaran ketika melakukan tukar menukar 6 jenis barang yaitu; emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai (dikenal dengan riba ba’i). Itulah sekilas definisi riba dalam Islam.

Sejarah Riba

Riba sendiri sebenarnya telah dikenal cukup lama dalam sejarah peradaban manusia, dimana riba ini termasuk kedalam penyakit kronis ekonomi masyarakat. Bahkan beberapa ahli ekonomi memperkirakan bahwa praktek riba telah terjadi sejak manusia mengenal uang (saat itu masih berupa emas dan perak). Riba juga telah dikenal pada masa peradaban Farao di Mesir, peradaban Sumeria, Babylonia dan Asyuriya di Irak, dan peradaban bangsa Ibrani Yahudi. Di dalam kitab perjanjian lama disebutkan, bahwa orang Yahudi diharamkan mengambil riba dari orang Yahudi, namun diperbolehkan orang Yahudi mengambil riba dari orang yang bukan Yahudi.
Kebenaran perkiraan diatas tidak dapat dipastikan kecuali keberadaan riba pada masa peradaban Yahudi. Karena Al-Qur’an menjelaskan bahwa Bani Israil (ummat Nabi Musa ‘alaihissalam) melakukan praaktek riba dan Allah-pun telah melarang dari mereka memakan riba.

Allah Ta’ala berfirman :

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih." (Q.S. An-Nisa; 160-161)

Kemudian umat Yahudi memperkenalkan praktek riba ini kepada bangsa Arab yang ada di semenanjung Arab, tepatnya di Kota Thaif dan Yatsrib (sekarang dikenal dengan kota Madinah). Di Kota Thaif dan Yatsrib Yahudi berhasil meraup keuntungan yang tidak terhingga, bahkan sampai-sampai orang-orang Arab jahiliyah menggadaikan anak, istri, dan diri mereka sendiri sebagai jaminan dari riba. Jika mereka tidak sanggup melunasi utang maka jaminan mereka kemudian dijadikan budak Yahudi. Begitulah kejamnya praktek ribawi yang bisa membinasakan umat jika tidak waspada terhadapnya. Bahasan mengenai riba dalam Islam ini belum selesai ya, khawatir terlalu panjang jadi penulis membagi perihal definisi dan sejarah riba ini menjadi dua bagian.


Bersambung, silahkan klik disini.

Firdausy Ahla

Firdausy Ahla

Perumahan Umaqiana Bandung

Perumahan Umaqiana Bandung

Hasanah Tower Bogor

Hasanah Tower Bogor

Firdausy Ahla Bandung

Firdausy Ahla Bandung

Almira Village Solo Raya

Almira Village Solo Raya

Popular Posts

Arsip Blog